LABUHAN BATU- Benar-benar edan! Harusnya setiap bantuan program apapun dari pemerintah dapat membuat senyum warga miskin. Ini justru sebaliknya. Malah membuat kaum papah mengernyit terbebani. Sebenarnya bantuan itu memudahkan atau memindahkan kekuasaan oknum preman mengatasnamakan institusi pemerintah. Sabtu 28 Desember 2019.
Baiklah. Kasus bau amis permainan anggaran dipenghujung tahun kembali menyerbak berawal dari program bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) Tahun 2019 di Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Labusel) yang dikelola Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) setempat.
Ada dua bentuk bantuan RTLH dari anggaran APBD Pemprov Sumatera Utara (Sumut) dan bentuk bantuan yang sama dari program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dan National Affordable Housing Program (NAHP) milik Pemerintah pusat kerjasama dengan Bank Dunia (World Bank), melalui Kementerian PU-PR juga mengucur kepada warga miskin di negeri berjuluk: Santun Berkata Bijak Berkarya.
Namun, kenyataan moto Santun Berkata Bijak Berkarya tergores oleh ulah nakal oknum Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman setempat. Pasalnya, dana bantuan untuk 360 unit rumah dari BSPS NAHP Pemerintah Pusat dan meski belum diketahui berapa banyak lagi RTLH APBD Sumut melalui DPRKP Labusel disunat preman berdasi.
Sebab, untuk RTLH ini setiap unitnya dianggarkan Rp30 juta tetapi dana pembangunan itu hanya didapat kurang lebih Rp23 juta kepada warga miskin. Tak tahu mengapa ada potongan sebanyak itu setiap unitnya.
Yang mereka (penerima bantuan) tahu dipaksa untuk diam dengan alasan potongan pajak serta dibungkam calon penerima agar tak membocorkan persoalan kepada wartawan. Jika niat persekongkolan jahat itu dipenuhi calon penerima, maka dana dikucurkan.
Walau, kekurangan dana dari Rp30 juta sebesar Rp7 juta sebab yang diterima mereka Rp23 juta harus dipikul warga miskin itu. Masalah juga tak lantas selesai sampai disitu. Beragam persoalan pun muncul mulai dari penentuan tempat pembelian material dengan harga di-mark up atau bahkan jumlah material yang dikurangi isinya.
Ironis. Oknum preman ini justru sulit ditemui awak media dan sekalinya bertemu untuk dikonfirmasi seakan irit bicara menghindar. Malahan, untuk bertemu Kepala DPRKP Labusel juga kerab dihalangi dengan berbagai alasan janji yang tak pernah dipenuhi untuk sekedar wawancara.
Jika mental pejabat seperti ini. Apakah layak disebut alergi dengan media? Entahlah! Fungsi media sudah dilakukan sesuai UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Padahal, baru sebatas lima desa yang terkuak dari 50 desa penerima bantuan di Labusel. Sementara, kita hitung. Jika Rp30 juta disunat Rp7 juta dikali 360 unit rumah, jumlahnya sangat fantastis, yakni Rp 2,5 miliar.
Waw.. Angka Rp 2,5 miliar itu belum termasuk bantuan serupa BSPS NAHP. Kali ini benar-benar gila! Kepala Bidang Perumahan DPRKP Labusel, Bastanta yang irit bicara itu seolah berusaha menyembunyikan bau amis kasus busuk ini. Apakah kasus ini hanya ditanggung bebannya oleh warga miskin?
Kemana para legislatif (DPRD) yang bertugas membuat undang-undang? Lalu kemana juga tanggungjawab eksekutif yang bertugas menerapkan atau melaksanakan undang-undang? Dimana keberadaan yudikatif yang bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang?
Satu lagi, segeralah turun gunung Ombudsman sesuai fungsinya mengawasi penyelenggaraan Pelayanan Publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan Pemerintah baik Pusat maupun daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara serta badan Swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.
Gusti Ora Sare (Allah Tidak Tidur)! Segeralah berbenah meski proyek massal itu sampai dipenghujung tahun yang tinggal dua hari lagi (tulisan ini dituangkan: 28/12/2019) juga belum tuntas seluruhnya. Jangan menambah derita warga miskin dengan berkedok memberi bantuan jika tidak ikhlas dengan penggunaan anggaran.
Penulis: Najib Gunawan.
Editor: Toni Octora.