PEKANBARU- Kasus perseteruan antara Toro Pimpinan Redaksi Media Harianberantas.co.id dengan Bupati Bengkalis Amril Mukminin terus bergulir di persidangan.
Yang mana Toro telah dijerat UU ITE oleh Petugas Polda Riau, akibat dilaporkan Bupati Bengkalis melalui 2 Pengacaranya, dengan laporan atas pencemaran nama baik sang Bupati. Dan kini Toro menyandang status tersangka, dan sang Bupati ini di anggap Toro telah Mengkriminalisasi Pers.
Pada Senin (01/10/2018) adalah sidang kasus Toro yang ke 12 di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Dalam sidang ke 12 ini, Jaksa Penuntut Umum telah menghadirkan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau dan juga selaku Ketua SPS Cabang Riau Zulmansyah Sekedang, guna dimintai keterangannya sebagai saksi Ahli dihadapan Majelis Hakim.
Pada persidangan tersebut, Zulmansyah Sekedang diberi beberapa pertanyaan oleh Majelis Hakim mengenai permasalahan yang sedang di sidangkan.
Dimana Majelis Hakim menanyakan beberapa pertanyaan mengenai pemberitaan dari Media Harianberantas itu bisa dilaporkan tanpa harus mematuhi aturan dari Dewan Pers, dan juga Majelis Hakim mempertanyakan apakah ada aturan dari Dewan Pers yang menegaskan Wartawan didalam pemberitaan tidak bisa diberikan sanksi pidana.
Kemudian Majelis Hakim juga menambahkan, apakah Media Toro ini telah lulus verifikasi, dan apakah suatu perusahaan media harusnya terdaftar di Pemda untuk bisa beroperasi atau tidak.
Dari beberapa pertanyaan Majelis Hakim kepada Ketua PWI Riau tersebut, ternyata jawaban dari Saksi Ahli sangat mengejutkan awak media yang tergabung di Solidaritas Pers Indonesia (SPI) Riau dan juga Kuasa Hukum Toro.
Yang mana Zulamansyah mengatakan, bahwasanya ketika di suatu pemberitaan yang diterbitkan oleh suatu Perusahaan Media yang diduga membuat berita yang dinilai merugikan orang lain, maka Wartawan tersebut bisa dilaporkan kepihak Kepolisian, tanpa harus menunggu surat dari Dewan Pers sampai ke media yang bersangkutan.
Saksi Ahli juga menerangkan, bahwa masalah perusahaan Pers yang ada harus mempunyai legalitas yang jelas dan terdaftar di Pemda, dan apabilla suatu media tersebut tidak terdaftar di Pemda tidak boleh beroperasi.
Zulmansyah Sekedang menyebutkan, bahwa rekomendasi dari Dewan Pers itu adalah suatu teguran tertulis untuk suatu perusahaan tersebut, yang dinilai menyajikan berita yang salah. Dan apabila dinilai benar, maka surat dari Dewan Pers tidak akan di keluarkan oleh Dewan Pers.
Di saat itu, Kuasa Hukum Toro menanyakan soal Hak Tolak kepada Zulmansyah. Saksi Ahli menjelaskan, bahwa yang dimaksud hak tolak adalah, memindahkan tanggung jawab dari narasumber kepada Insan Pers selaku penulis berita tersebut.
"Jadi Hak Tolak itu adalah, merahasiakan nama narasumber dan memindahkan tanggung jawab dari apa yang di ucapkan oleh narasumber kepada Wartawan tersebut. Jadi kalau apa yang dikatakan narasumber salah, maka Wartawannya yang akan dipersalahkan dan menanggung resikonya," ucap Ketua PWI Riau ini.
Keterangan dari Saksi Ahli tersebut mengundang tanda tanya dari Awak Media yang tergabung di SPI, dan membuat mereka heran. Karena, seharusnya seperti yang telah diatur dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang mana di dalamnya jelas diatur sebagaimana dijelaskan dalam pokok Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) sebagai berikut:
1. Hak Jawab adalah, hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
2. Hak Koreksi adalah, hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh Pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.
3. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan Pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
4. Dewan Pers Indonesia mendefinisikan
pengaduan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers.
5. Salah satu fungsi Dewan Pers yaitu
memberikan pertimbangan dan
mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Sementara untuk hak tolak bukan memindahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada si penulis tetapi Jurnalis hanya bisa mengungkapkan nama Narasumber di persidangan dan apabila seorang kuli tinta lebih memilih diam dari pada menyebutkan nama nara sumber, maka Jurnalis tersebut bisa di pidana sesuai dengan apa yang di jelaskan dalam hukum hak tolak Wartawan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU Pers serta pasal 170 KUHAP.
Khususnya pasal 4 ayat 4 UU Pers yang mengatur soal hak tolak wartawan.
Dan mengenai pemberitaan yang di suguhkan oleh media yang diduga mencemarkan nama baik bisa di Pidana, tentu tidak sesuai dengan aturan UU Pers sesuai dengan pasal 3 UU Pers menyatakan salah satu fungsi Pers Nasional adalah melakukan kontrol sosial.
Karena tugas jurnalistik yang dilakukan oleh insan Pers dianggap sebagai perintah undang-undang Pers, maka jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik itu tidak bisa dipidana.
Argumen lain adalah pasal 310 KUHP yang menyatakan bahwa pencemaran nama baik bukan pencemaran nama baik bila dilakukan untuk kepentingan umum.
Berdasarkan pasal 6 UU Pers, Pers Nasional melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Bila undang-undang Pers digunakan, menurut Hinca, jika ada masyarakat yang merasa dirugikan atau dicemarkan nama baiknya oleh pemberitaan Pers, ia harus
menggunakan hak jawabnya dan Pers wajib melayani hak jawab itu.
Kalau Pers tidak mau memuat hak jawab tersebut, UU Pers mencantumkan ancaman denda Rp.500 juta.
Jika hak jawab sudah dilayani utuh, maka problem selesai. Ia mengatakan, setelah hak jawab digunakan, pihak yang dirugikan tidak dapat lagi mengajukan gugatan perdata terhadap pers.
Intinya, dalam UU Pers ancaman hukuman bagi Pers yang melakukan kesalahan adalah pidana denda, bukan penjara.
Adapun pidana penjara ditujukan bagi orang yang menghalang-halangi kerja jurnalistik seperti yang ditetapkan dalam UU Pers No 40 Tahun 1999.
Sementara Hak Tolak Wartawan, dalam penjelasan pasal tersebut dimaksudkan sebagai hak tolak untuk tidak mengungkapkan identitas narasumber dalam pemberitaan.
Narasumber disini artinya narasumber anonim, narasumber yang identitasnya sengaja disembunyikan.
Artinya, wartawan hanya mempunyai hak tolak untuk menyebutkan identitas narasumber anonim dalam proses peradilan.
Entah sebagai saksi di tingkat penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan.
Hak tolak hanya gugur lewat putusan pengadilan, dengan alasan kepentingan dan ketertiban umum.
Seperti biasa, kepentingan dan ketertiban umum ini tidak pernah mempunyai definisi yang jelas.
Jika hak tolak digugurkan, wartawan wajib untuk menyebutkan identitas narasumber namun jika tidak, maka jurnalis dapat dihukum.
Disamping itu, ada juga dari beberapa media menerbitkan pemberitaan, bahwa Zulmansyah dalam pandangannya di hadapan dewan hakim yang di ketuai Yudi Silaen menjelaskan secara gamblang jika seorang wartawan yang profesional itu wajib melakukan "Cover Both Side" dalam melakukan peliputan.
Artinya semua pihak yang terlibat dalam sebuah kejadian yang hendak diberitakan harus di konfirmasi dan tidak dilakukan pemberitaan yang berulang-ulang. Jika hendak di ulang atau di Follow Up tentu harus menggunakan narasumber baru yang tentunya orang berkompeten.
"Wajib bagi wartawan yang profesional melakukan cover both side terhadap berita yang hendak diterbitkan. Semua harus dikonfirmasi, tidak bisa tidak. Juga tidak melakukan berita itu berulang-ulang. Semua itu sudah tertuang di kode etik yang diamanahkan oleh undang-undang pers," ujar Zulmansyah menjabat Direktur Harian Riau Pos ini.
Zulmansyah juga menjelaskan jika berita yang hendak diterbitkan juga harus melalui tahapan penyaringan di lembaga berita dalam perusahaan pers. Contohnya pemberitaan yang di buat seorang wartawan sebelum terbit wajib di periksa oleh koordinator liputan lalu di periksa oleh Redaktur hingga ke Pemimpin Redaksi selaku penanggungjawab pemberitaan.
"Berita juga wajib di saring oleh Koordinator liputan, Redaktur hingga Pemimpin Redaksi sebelum diterbitkan," sambung Zulmansyah.
Ia memaparkan juga jika ada terjadi sengketa pemberitaan yang berujung jatuhnya rekomendasi Dewan Pers, rekomendasi itu wajib dilaksanakan oleh perusahaan media itu. Jika itu tidak diindahkan, sah-sah saja jika si korban pemberitaan melakukan pelaporan ke pihak berwajib.
"Rekomendasi Dewan Pers itu wajib dilakukan perusahaan media jika terjadi sengketa pemberitaan. Dan si korban pemberitaan juga punya hak untuk melaporkan ke pihak berwajib," pungkasnya.
Press Rilis: Tim Solidaritas Pers Indonesia Riau.
Editor: Emos Gea.